“Nek Karim masuk rumah sakit, Rika!”
Suara Bunda yang panik membuatku nyaris melompat dari tempat dudukku.
“Sakit apa, Bunda? Rumah sakit mana?”
“Itulah yang membuat Bunda bingung. Ayahmu belum pulang, sementara….”
“Bunda…Bunda…jangan biarkan ini terjadi….Bunda….kita harus bertindak.”
“Maafkan Bunda sayang, Bunda tidak kuasa.”
Mendengar kalimat Bunda, aku pun terduduk kembali. Lemas.
Esok harinya kuperoleh kabar menyakitkan itu. Nek Karim masuk rumah sakit milik sebuah yayasan nasrani.
Kupandangi dengan sedih tubuh kurus Nek Karim dengan berbagai selang yang melilit. Mata Nek Karim yang mengatup, tak sedetik pun terbuka. Syukurlah, dengan begitu, Nek Karim tak perlu menatap salib yang tergantung tepat di depan ranjang, yang akan segera tertangkap penglihatan, andaikan mata tua itu terbuka. Hatiku menjerit. Nek Karim muslim, mengapa harus berada di ruangan ini? Mengapa benda itu harus tetap tergantung di hadapannya?
Bunda membisikkan sesuatu yang menggetarkan hati. “Perasaan Bunda, Nek Karim tidak sakit biasa, Rika.”
Aku memandang Bunda dengan sorot mata penuh sejuta tanya.
“Bunda sering menemani akhir hidup orang-orang yang hendak menghadap Allah. Sepertinya….”
Bunda memang tidak melanjutkan kalimatnya. Namun aku sudah sangat paham ke mana arah pembicaraan itu. Nek Karim tidak pernah mengeluh sakit. Pagi hari sebelum terkulai pingsan pun beliau masih sibuk memasak makanan kesukaan suaminya.
Nek Karim. Keluargaku tak ada hubungan darah dengannya. Namun pertalian iman memang fondasinya lebih kuat dibanding pertalian berdasarkan ikatan kekerabatan. Nek Karim adalah seorang muallaf. Sementara kelima putranya semua penganut Trinitas.
Belum genap sepuluh tahun Nek Karim bersama suaminya mengucapkan syahadat. Namun demikian, percepatan yang Nek Karim perlihatkan sungguh menakjubkan. Beliau seringkali bertindak lebih islami dibandingkan dengan orang yang memeluk Islam sejak kecil. Ghiroh-nya untuk berjuang di jalan Allah seringkali mendecakkan kagumku atas kuasa-Nya. Subhanallah! Untung saja, kelima putranya bukan termasuk nasrani yang taat, sehingga mereka tidak pernah mengusik keberagamaan orang tuanya. Lagi pula, hanya satu yang tetap tinggal sekampung dengan Nek Karim.
Sekarang Nek Karim sakit. Sakit yang tidak biasa. Sakit yang Bunda perkirakan hanya sebagai lantaran menghadapnya Nek Karim kepada Allah. Sakit yang sulit dideteksi, sehingga para dokter pun angkat tangan. Tapi mengapa, Nek Karim masih dipertahankan untuk dirawat di rumah sakit? Untuk apa? Berbagai praduga buruk pun lantas berseliweran di kepalaku. Cerita tentang orang meninggal yang diperebutkan cara perawatan jenazahnya karena keluarganya berbeda agama membuatku bergidik. Nek Karim muslim, apakah ada yang hendak memalingkannya dari kebenaran agama tauhid?
“Bunda, kenapa Nek Karim dibiarkan sendirian bersama pastur itu? Bagaimana jika nanti Nek Karim dikafirkan?” Aku nyaris terisak. Aku tak melepaskan mataku pada Pastur setengah tua yang sedang membelai-belai tubuh Nek Karim yang terbungkus selimut. Samar-samar, karena gorden jendelanya pun diturunkan. Ini tak boleh dibiarkan. Ini harus dihentikan! Aku tak rela Nek Karim dikembalikan kepada agamanya semula. Beberapa kali kusaksikan hal-hal yang mengkhawatirkan bagi iman Nek Karim di rumah sakit ini.
“Ustadz, kalau Nek Karim sampai berhasil dikafirkan menjelang ajalnya, kita turut bertanggung jawab.”
“Pak, sesama muslim itu bersaudara. Kita harus menyelamatkan Nek Karim!”
“Ayah kan pandai melobi, bergerak, dooong!!”
Aku terus bicara, pada Ayah, pada Pak Kadus, pada Pak RT, kepada kakak, dan pasti juga Bunda. Akidah Nek Karim harus diselamatkan!
Suara Bunda yang panik membuatku nyaris melompat dari tempat dudukku.
“Sakit apa, Bunda? Rumah sakit mana?”
“Itulah yang membuat Bunda bingung. Ayahmu belum pulang, sementara….”
“Bunda…Bunda…jangan biarkan ini terjadi….Bunda….kita harus bertindak.”
“Maafkan Bunda sayang, Bunda tidak kuasa.”
Mendengar kalimat Bunda, aku pun terduduk kembali. Lemas.
Esok harinya kuperoleh kabar menyakitkan itu. Nek Karim masuk rumah sakit milik sebuah yayasan nasrani.
Kupandangi dengan sedih tubuh kurus Nek Karim dengan berbagai selang yang melilit. Mata Nek Karim yang mengatup, tak sedetik pun terbuka. Syukurlah, dengan begitu, Nek Karim tak perlu menatap salib yang tergantung tepat di depan ranjang, yang akan segera tertangkap penglihatan, andaikan mata tua itu terbuka. Hatiku menjerit. Nek Karim muslim, mengapa harus berada di ruangan ini? Mengapa benda itu harus tetap tergantung di hadapannya?
Bunda membisikkan sesuatu yang menggetarkan hati. “Perasaan Bunda, Nek Karim tidak sakit biasa, Rika.”
Aku memandang Bunda dengan sorot mata penuh sejuta tanya.
“Bunda sering menemani akhir hidup orang-orang yang hendak menghadap Allah. Sepertinya….”
Bunda memang tidak melanjutkan kalimatnya. Namun aku sudah sangat paham ke mana arah pembicaraan itu. Nek Karim tidak pernah mengeluh sakit. Pagi hari sebelum terkulai pingsan pun beliau masih sibuk memasak makanan kesukaan suaminya.
Nek Karim. Keluargaku tak ada hubungan darah dengannya. Namun pertalian iman memang fondasinya lebih kuat dibanding pertalian berdasarkan ikatan kekerabatan. Nek Karim adalah seorang muallaf. Sementara kelima putranya semua penganut Trinitas.
Belum genap sepuluh tahun Nek Karim bersama suaminya mengucapkan syahadat. Namun demikian, percepatan yang Nek Karim perlihatkan sungguh menakjubkan. Beliau seringkali bertindak lebih islami dibandingkan dengan orang yang memeluk Islam sejak kecil. Ghiroh-nya untuk berjuang di jalan Allah seringkali mendecakkan kagumku atas kuasa-Nya. Subhanallah! Untung saja, kelima putranya bukan termasuk nasrani yang taat, sehingga mereka tidak pernah mengusik keberagamaan orang tuanya. Lagi pula, hanya satu yang tetap tinggal sekampung dengan Nek Karim.
Sekarang Nek Karim sakit. Sakit yang tidak biasa. Sakit yang Bunda perkirakan hanya sebagai lantaran menghadapnya Nek Karim kepada Allah. Sakit yang sulit dideteksi, sehingga para dokter pun angkat tangan. Tapi mengapa, Nek Karim masih dipertahankan untuk dirawat di rumah sakit? Untuk apa? Berbagai praduga buruk pun lantas berseliweran di kepalaku. Cerita tentang orang meninggal yang diperebutkan cara perawatan jenazahnya karena keluarganya berbeda agama membuatku bergidik. Nek Karim muslim, apakah ada yang hendak memalingkannya dari kebenaran agama tauhid?
“Bunda, kenapa Nek Karim dibiarkan sendirian bersama pastur itu? Bagaimana jika nanti Nek Karim dikafirkan?” Aku nyaris terisak. Aku tak melepaskan mataku pada Pastur setengah tua yang sedang membelai-belai tubuh Nek Karim yang terbungkus selimut. Samar-samar, karena gorden jendelanya pun diturunkan. Ini tak boleh dibiarkan. Ini harus dihentikan! Aku tak rela Nek Karim dikembalikan kepada agamanya semula. Beberapa kali kusaksikan hal-hal yang mengkhawatirkan bagi iman Nek Karim di rumah sakit ini.
“Ustadz, kalau Nek Karim sampai berhasil dikafirkan menjelang ajalnya, kita turut bertanggung jawab.”
“Pak, sesama muslim itu bersaudara. Kita harus menyelamatkan Nek Karim!”
“Ayah kan pandai melobi, bergerak, dooong!!”
Aku terus bicara, pada Ayah, pada Pak Kadus, pada Pak RT, kepada kakak, dan pasti juga Bunda. Akidah Nek Karim harus diselamatkan!
ooOoo
Sore itu. Sinar sang mentari sudah tidak menyengat, udara berangsur dingin. Aku menarik nafas lega ketika menyaksikan sebuah ambulans memasuki kampungku. Ambulans berisi Nek Karim, yang atas lobi beberapa pemuka kampung diperbolehkan pulang oleh dokter, dan anak-anaknya pun tak bisa berbuat banyak. Namun, bagaimanapun juga aku tahu, perjuangan ini belum berakhir. Kesadaran Nek Karim belum pulih. Seminggu di rumah sakit tidak berpengaruh apa-apa terhadap kondisinya, bahkan kulihat semakin lemah. Tentu saja, karena paramedis di rumah sakit itu memperlakukan Nek Karim sebagai pasien biasa, bukan sebagai orang yang bersiap-siap untuk menghadap Tuhan. Mungkin juga, Nek Karim justru tersiksa berada dalam perawatan orang-orang itu. Orang-orang yang mengajarkan apa-apa yang pasti diingkari oleh nurani Nek Karim. Lagu rohani yang diputar tiap pagi, lonceng kecil yang dibunyikan dua kali sehari……
“Rika, sudah siap?”
Aku merapikan jilbabku dengan cepat. Kuambil Al Qur’an kecil dari meja belajarku. Kuikuti langkah Bunda yang sudah hampir mencapai pintu. Hari ini, aku dan Bunda bersama beberapa teman pengajian Bunda di majelis taklim hendak menengok Nek Karim, sekaligus membacakan surat At Taubah, surat Yasin, dan Ar Ra’du. Agar memudahkan jalan Nek Karim untuk menghadap Allah, ataupun menyembuhkan sakitnya, ataupun menguatkan iman Nek Karim dalam menghadapi musibah sakitnya.
“Puji Tuhan…”
Aku tertegun di depan pintu. Langkah Bunda dan para Ibu juga seketika terhenti. Ada pendeta yang sedang mendo’akan Nek Karim. Hatiku bergejolak. Apa ini maksudnya?
“Assalamu’alaikum.” Aku memberanikan diri. Salam itu kuucapkan pada Nek Karim, entah mengapa aku yakin beliau masih bisa mendengar. Salam itu juga pertanda kehadiranku. Aku ingin agar pendeta itu segera mengakhiri do’anya. Syukurlah, pendeta yang berambut tipis itu cukup tahu diri. Dia segera menurunkan salibnya dari badan Nek Karim, dan segera keluar dari ruangan.
Malam ini gelap gulita. Jika aku berada pada posisi anak Nek Karim, barangkali aku pun akan melakukan tindakan yang sama. Setiap orang yang beragama, pastilah dia meyakini akan kebenaran agama yang dipeluknya. Pastilah anak-anak Nek Karim menganggap bahwa Ibunya akan masuk neraka bila tetap berada dalam iman Islamnya. Hal tersebut tentu tak bisa disalahkan. Upaya mereka untuk mengembalikan Ibunya dalam iman yang ?benar’, kebenaran sejati menurut versi mereka, wajar-wajar saja.
Kupandangi sang purnama yang bersinar bulat. Namun aku sebagai muslim, sebagai orang yang yakin betul akan satu-satunya kebenaran, Islam sebagai jalan keselamatan tunggal, tentu tidak boleh tinggal diam. Bagaimanapun, perbuatan anak Nek Karim bisa dikategorikan tidak fair. Nek Karim sudah dalam kondisi tidak berdaya, bahkan mungkin sudah tidak dalam kesadaran penuh. Ini negara yang menjunjung hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Meskipun berstatus anak, tak ada hak sedikitpun dalam diri mereka untuk mengubah keyakinan Nek Karim.
“Rika mau menjaga Nek Karim malam ini, Bunda.”
“Bagaimana kalau anak-anak Nek Karim tidak setuju?”
“Apakah mereka akan berani? Mereka juga kan menjadi Kristen hanya karena korban kristenisasi. Keluarga besar Nek Karim kan mayoritas muslim, Bunda.”
“Baiklah kalau begitu. Hati-hati membawa diri, jangan membuat masalah. Jangan bersikap keras!”
“Insya Allah Rika sudah paham, Bunda. Islam kan rahmatan lil ?alamin.”
Bunda tersenyum, lantas mengelus kepalaku lembut. Akupun berangkat ke rumah Nek Karim dengan perasaan lega.
Alhamdulillah, pada akhirnya usulku diperhatikan oleh orang-orang yang lebih dewasa dariku. Jangan sampai sedetik pun Nek Karim dibiarkan lengah dari pengawasan saudara seiman. Nek Karim sangat baik, aku berharap akhir hidupnya pun khusnul khatimah. Jadilah Bunda, Ayah, aku, Kak Wita, teman-teman Bunda dan Ayah, para tetangga, bergantian menjagai Nek Karim.
Malam ini sungguh senyap. Aku baru saja menyelesaikan surat At Taubahku. Kuletakkan mushaf di meja samping ranjang. Kucium pipi keriput Nek Karim. Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak menetes. Kucium lagi pipinya, lalu tangannya. Tangan itu yang sering memberikanku makanan, membuatkan roti bolu kesukaanku. Tangan itu yang melambai-lambai setiap aku berjalan di depan rumahnya. Tangan itu pula yang mengelus pipiku, lalu bibirnya berkata’ “Jadilah cucu Nenek yang sholihat. Do’akan terus kalau Nenek sudah meninggal. Nenek tidak bisa berharap dari anak-anak Nenek, juga dari cucu-cucu Nenek.”
Tak hanya tangannya, kaki Nek Karim pun kupeluk. Kaki itu yang melangkah ke masjid. Kaki itu yang meskipun tertatih, melangkah ke rumahku, ke rumah Bude Sri, ke tempat orang-orang yang disayanginya, untuk menghantarkan makanan, untuk bersilaturrahim. Kaki itu yang terlihat begitu ringan melangkah ke majelis ta’lim, mendatangi orang yang sedang punya hajat, orang yang dirundung duka atas kematian anggota keluarganya. Subhanallah, sepasang kaki yang insya Allah penuh barokah.
Siang itu panas menyengat. Aku berjalan dengan tergesa. Kulihat bendera putih melambai dari perempatan jalan menuju rumah Nek Karim. Apakah….
Pertanyaan di hatiku terjawab, hanya setelah sepuluh menit aku menjejakkan lima belas langkah lebarku. Kulihat Bunda di depan rumah Nek Karim, juga beberapa orang yang sedang sibuk menggelar tikar, mengatur kursi-kursi, atau melakukan pekerjaan lain.
Aku mencium tangan Bunda, Bunda pun memelukku. Kutatap mata Bunda. “Bagaimana?” Aku bertanya dengan suara berbisik.
Bunda tersenyum? dengan sorot mata yang penuh cahaya. “Insya Allah khusnul khotimah, Rika.”
Aku menarik nafas dalam-dalam penuh kelegaan. “Bunda menunggui saat-saat terakhir Nenek?”
“Alhamdulilah.”
Dibimbing Bunda, aku menuju kamar di mana jenazah Nek Karim disemayamkan.
Tubuh itu terbujur kaku, tidak bergerak lagi. Aku masih ingin berlama-lama di ruangan ini. Sholat jenazah sudah selesai kutunaikan. Selanjutnya aku masih ingin berdo’a, berdzikir, dan membaca Al Qur’an. Aku tahu Nek Karim sudah tiada, aku sudah tidak bisa lagi mengajaknya bicara, aku tidak bisa lagi mendengar petuah-petuahnya, aku tidak bisa lagi menatap binar rindunya kepada Sang Pencipta, aku tidak bisa lagi merasai lembutnya sentuhan tangan penuh kasih itu. Namun kedamaian saat bersama Nek Karim masih terasa hangat di hatiku.
“Gantian ya, Mbak.”
Suara itu. Hatiku berdesir. Suara anak-anak Nek Karim. Kuberikan seulas senyum. Mungkin mereka juga hendak mendo’akan Ibunya, tentu saja dengan cara mereka.? Kulihat lagi pendeta berambut tipis itu, kali ini dia tidak membawa salibnya.
Aku berjalan keluar. Sesampai di pintu, aku menoleh lagi. Jenazah yang ditutupi kain jarik itu. Nek Karim…akhirnya engkau pergi menghadap-Nya. Satu pelajaran berharga telah kau tinggalkan untukku, Nek. Kau telah banyak berbuat, kau maksimalkan apapun yang kau punya, apapun yang kau bisa, untuk kemanfaatan umat. Sedang aku? Apa yang telah kupersiapkan untuk menyongsong saat yang sudah pasti akan tiba itu?
Nek Karim. Sosoknya kembali nyata di benakku. Air mataku kembali menetes.
[diambil dari Majalah PERMATA edisi 09/Tahun VII/Desember 2002
0 komentar:
Posting Komentar